Jalan menuju kesana sangat bagus dan mulus dengan pemandangan alami hamparan pohon kelapa sawit di sebelah kiri dan kanan jalan.
Singkat cerita , tak sedetikpun waktu yang diluangkan disana , setelah menonton sunset dan makan malam , menjelang tengah malam saya menyempatkan diri menyusuri tepi pantai menikmati deburan ombak selat Malaka dan kilauan sang bintang.
Wah . .. .! Habis deh saya , demikan pikiran dalam hati , teringat di saku masih membawa dompet dengan uang cash , serta sejumlah barang ,HP serta jam dan lainnya. Makin “panas – dingin “ lah saya , karena masing – masing mereka menyandang parang di pinggangnya. Saat itu yang terlintas dipikiran saya hanya nama Tuhan dan saya dalam tekanan psikologis non judgement “ Malang atau Beruntung , Aku tidak tahu “ seperti kata orang bijak.
“Dik , kesini sebentar “ salah seorang berkata sambil menarik tangan kanan saya dan mengajak saya berjongkok , keringat dingin makin mengalir deras mengingat cengkraman tangannya yang kuat di pergelangan tangan saya.
Namun sungguh diluar dugaan , kemudian dengan ramah ia memperkenalkan diri sebagai Haris Nasution , Kepling di daerah itu , Kepling di Medan adalah singkatan dari Kepala Lingkungan , setara dengan ketua RW ( Rukun Warga ) atau Lurah untuk istilah di Jakarta.
Rupanya saya salah masuk ke wilayah konservasi dan pembiakan penyu laut di pantai tersebut , mereka ternyata sedang mengamati seekor penyu yang hendak bertelur , kesempatan langka ini tidak saya sia – sia kan ketika mereka menawarkan untuk ikut mengamati ,kehadiran saya tadi dikhawatirkan menganggu sang penyu.
Haris Nasution menginformasikan saya , bahwa sang penyu menghabiskan jarak ratusan bahkan ribuan mil dari tempat asalnya , dengan resiko ditangkap nelayan , dimangsa ikan hiu sampai tewas dengan tubuh hancur tersambar baling – baling kapal hanya untuk datang bertelur dipantai tersebut.
Tak lama kemudian lubang yang dibuat penyu tercipta , ia mulai bertelur , takjub dan kagum persaaan saya menjadi satu , ratusan telur meluncur deras dari sang penyu , sementara Pak Kepling mengajak saya untuk memegang dan mengelus sang Penyu.
Sangat luar biasa ! Walaupun “ diganggu “ oleh elusan tangan saya dipunggung dan kepalanya , namun si penyu tak sedikitpun merasa terganggu , terus saja dalam keasyikannya bertelur.
Selesai ia “memuntahkan” semua isi perutnya , sang penyu segera menutup lubang tersebut , dan kembali “ mempersiapkan “ perjalanan ratusan milnya dengan segala resikonya tanpa ada jaminan dapat kembali kepantai tersebut dengan selamat tahun berikutnya hanya untuk memberikan hasil yang terbaik bagi orang lain dan keturunannya.
Dengan parang yang tadinya saya pikir untuk “ menghabisi “ saya , Pak Kepling dkk , segera menggali pasir dengan hati - hati, sebagian besar dari ratusan telur itu dipindahkan untuk ditetaskan , sebagian dijual untuk biaya operasional dan 5 butir diberikan sebagai oleh – oleh buat saya , yang akhirnya dengan segala hormat saya kembalikan lagi untuk “ titip “ ditetaskan.
Dengan harapan jika nanti sang telur menetas dan besar , saya , anak , kerabat atau rekan – rekan pembaca sekalian mudah – mudahan dapat menyaksikan “ 5 penyu milik “ saya bertelur jika nanti anda kelak berkunjung ke pantai tersebut.
Sebagai manusia “ perjalanan kita “ hampir sama , mengarungi “ samudra “ kehidupan dengan segala resiko , tantangan dan hambatan yang tidak kalah hebatnya tanpa ada jaminan untuk mencapai tepian “ pantai kesuksesan”.
Jadi dalam kehidupan dan berkarya ini philosofi mana yang anda pakai Penyu atau Ayam ?
0 komentar:
Posting Komentar