Keluarga Semut
Publikasi:
28/03/2002 08:53 WIB
Pukul 22.30 WIB,
huh ... lelahnya aku seharian menyelesaikan pekerjaan kantor yang tak
habis-habisnya. Kurebahkan tubuhku di lantai depan televisi, sementara
kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku tidak terlelap. Suhu yang
sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan membiarkan kulitku bersentuhan
dengan sejuknya lantai.
"aaauww ...
brengsek!" gumamku
Segera kutepis
sesuatu yang menggigit lenganku hingga ia terjatuh di lantai, ternyata seekor semut
hitam.
"Kurang
ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu penat dan tubuhku ini seperti mau
hancur? Apa ia juga tidak tahu kalau aku sedang beristirahat?" pikirku
seraya kembali merebahkan tubuhku.
Tapi, belum
sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel lantai, "addduuhhh!"
Lagi-lagi semut kecil itu menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya dan
gigitannya pun lebih sakit. "heeeh, berani sekali makhluk kecil ini,"
gerutuku kesal.
Ingin rasanya
kulayangkan tapak tangan ini untuk membuatnya mati tak berkutik 'mejret' di
lantai. Namun sebelum tanganku melayang, ia justru sudah mengacung-acungkan
kepalan tangannya seperti menantangku bertinju. Kuturunkan kembali tanganku
yang sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut', kuurungkan niatku untuk
menghajarnya karena kulihat mulutnya yang komat-kamit seolah mengatakan sesuatu
kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang diucapkannya, tapi lama kelamaan
aku seperti memahami apa yang diucapkannya.
"Hey makhluk
besar, anda menghalangi jalan saya! Apa anda tidak lihat saya sedang membawa
makanan ini untuk keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia begitu marah
karena aku menghambat perjalanannya, lebih-lebih sewaktu punggungku menindihnya
sehingga ia harus terpaksa menggigitku.
Akhirnya
kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya aku meminta maaf
kepadanya. Susah payah ia membawa sisa-sisa roti bekas sarapanku pagi tadi yang
belum sempat kubersihkan dari meja makan. Kadang oleng ke kanan kadang ke kiri,
sesekali ia berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar mengumpulkan tenaganya
sembari membasuh peluhnya yang mulai membasahi tubuh hitamnya.
Kuikuti terus
kemana ia pergi. Ingin tahu aku di pojok mana ia tinggal dari bagian rumahku
ini. Ingin kutawarkan bantuan untuk membantunya membawakan makanan itu ke
rumahnya, tapi aku yakin ia pasti menolaknya. Berhentilah ia di sebuah sudut di
samping lemari es sebelah dapur. Di depan sebuah lubang kecil yang menganga, ia
letakkan bawaannya itu dan kulihat seolah ia sedang memanggil-manggil semut-semut
di dalam lubang itu. Satu, dua, tiga .... empat dan .... lima semut-semut yang
tubuhnya lebih kecil dari semut yang membawa makanan itu berlarian keluar rumah
menyambut dengan sukaria makanan yang dibawa semut pertama itu. Dan, eh ...
satu lagi semut yang besarnya sama dengan pembawa roti keluar dari lubang.
Dengan senyumnya yang manis ia mendekati si pembawa roti, menciumnya,
memeluknya dan membasuh keringat yang sudah membasahi seluruh tubuh semut
pembawa makanan itu.
Hmmm ...
menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala keluarga dari semut-semut yang
berada di dalam lubang tersebut. Kelima semut-semut yang lebih kecil adalah
anak-anaknya sementara satu semut lagi adalah istri di pembawa roti, itu
terlihat dari perutnya yang agak buncit. "Mungkin ia sedang mengandung
anak ke enamnya" pikirku.
Semut suami yang
sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh kasih sayang. Semut
istri tawadhu' dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh senyum setiap rizki
yang dibawa oleh sang suami, juga ibu yang selalu memberikan pengertian dan
mengajarkan anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat Tuhannya. Dan, anak-anak
semut itu, subhanallah ... mereka begitu pandai berterima kasih dan menghargai
pemberian ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang dibanggakan, sungguh
istri yang membanggakan dan sungguh anak-anak yang membuat ayah ibunya bangga.
Astaghfirullah
..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas seperti tiada daya dan brukkk .... aku
tersungkur. Kuciumi jalan-jalan yang pernah dilalui semut-semut itu hingga
menetes beberapa titik air mataku. Teringat semua di mataku ribuan wajah
semut-semut yang pernah aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang lantai ketika
mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya mengambil sisa-sisa makanan,
padahal yang mereka ambil juga merupakan hak mereka atas rizki yang aku terima.
Air mataku makin
deras mengalir membasahi pipi, semakin terbayang tangisan-tangisan anak-anak
dan istri semut-semut itu yang tengah menanti ayah dan suami mereka, namun yang
mereka dapatkan bukan makanan melainkan justru seonggok jenazah.
Ya, Allah ...
keluarga semut itu telah mengajarkan kepadaku tentang perjuangan hidup, tentang
kesabaran, tentang harga diri yang harus dipertahankan ketika terusik, tentang
bagaimana mencintai keluarga dan dicintai mereka. Mereka ajari aku caranya
mensyukuri nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas, sabar, tawadhu' dan
qonaah dalam hidup.
Hari-hari
selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh di lantai di bagian manapun rumahku
aku selalu memperhatikan apakah aku menghambat dan menghalangi langkah atau
jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan rizki. Ingin rasanya aku hantarkan
sepotong makanan setiap tiga kali sehari ke lubang-lubang tempat tinggal
semut-semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku memberinya jalan atau bahkan
mempermudahnya agar ia dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri rizki
tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka. Wallahu a'lam bishshowab
(Bayu Gautama)
0 komentar:
Posting Komentar