KETUKAN IMAN
Nurbuat:
"Mengobati Kegelisahan"
Sungguh, kalau
ingat masa lalu, saya sering gemetar. Jika ingat dosa-dosa yang saya lakukan,
pelupuk mata saya tak kuasa membendung air mata.
Setidaknya
berkaca-kaca. Orang melihat kami, para pelawak, di panggung membikin orang
tertawa. Di belakang panggung kami menangis, orang tidak tahu. Malahan, bakat
lawak saya justru terasah oleh kepahitan hidup, masa-masa menangis yang cukup
panjang.
Sebelumnya, tak
pernah terbayangkan saya akan menenggak minuman keras.
Sampai
mabuk-mabukan hampir setiap malam. Tak hanya itu, saya pun murtad dari agama
Islam, hingga akhirnya saya merasakan Allah Swt menyelamatkan saya. Dan saya
kembali kepada Islam.
Selulus dari
SMEA, saya sempat menganggur beberapa lama. Padahal saya harus membantu
membiayai keluarga. Maklum, sejak usia 3,5 tahun bapak saya sudah meninggal.
Saat itu, usia adik bungsu saya baru 35 hari. Terpaksa saya kerja serabutan.
Kadang-kadang ikut jadi kernet angkutan umum.
Pada 1970, saya
mulai tertarik masuk grup kesenian, di Malang, namanya Anoraga. Awalnya cuma
jadi figuran. Setelah setahun saya dipercaya menjadi pemeran utama. Dari situ,
saya pindah ke ludruk Wijaya Kusuma II, sebuah grup yang lebih besar. Uangpun
mengalir lancar. Apalagi di situ, saya menjadi maskot. Jadi anak emas-lah.
Anehnya, berapapun uang yang saya dapat, tak membuat saya bahagia. Saya malah
gelisah.
Celakanya,
kegelisahan itu saya larikan ke minum minuman keras. Saya biasa minum bersama
kawan-kawan di grup ludruk. Biasanya, minuman lokal, bir Cap Kuntul. Kebiasaan
itu, membuat saya kacau. Pendapatan yang lumayan itu pun, tak ada bekasnya.
Dari situlah saya terbawa pengaruh lingkungan. Tahun 1978 saya berpindah agama
ke Kristen. Bukannya ketenangan, kegelisahan saya malah menjadi-jadi.
Kekristenan saya
mulai goyah sekitar tahun 1983. Saat itu saya sudah bergabung dengan Srimulat.
Kebiasaan mabuk-mabukan pun mulai saya tinggalkan. Pikiran saya mulai jalan,
mencari-cari akar kegundahan. Mulai tumbuh 'kecemburuan' saat melihat kawan-kawan
yang muslim, menikmati
kesyahduan suara
azan. Pun saat mereka menikmati kebersamaan ketika sholat berjamaah.
Apalagi kalau
datang bulan Ramadhan. Mendengar azan magrib, dur.. dur.. dur.. bedug ditabuh,
menyaksikan kawan-kawan berbuka puasa, masya Allah terbayang dalam benak saya
kenikmatan berbuka. Saya merasa di situ ada kebahagiaan. Setelah berpuasa
seharian, saat berbuka, bersama-sama lagi, terasa benar nikmatnya. Kemudian
bergegas ke masjid untuk tarawih berjamaah.
Hal-hal seperti
itu banyak membantu menyadarkan saya kembali ke jalan yang benar. Kalaupun ada,
faktor orang lain sebenarnya hanya bersifat penunjang, yang dominan adalah
suara qalbu saya yang memanggil untuk kembali kepada Islam. Sejauh itu saya
masih beranggapan, semua agama baik. Tapi lama-lama, ada beberapa ajaran yang
menyadarkan saya, ternyata Islamlah yang paling
sempurna.
Misalnya, dalam surat Al-Ikhlash disebutkan, "Katakan, 'Tuhan itu satu,
Tuhan tidak beranak, tidak diperanakkan." Logikanya, kalau Dia punya anak,
pasti anaknya diistimewakan, nggak mungkin Dia mendahulukan yang lain.
Akhirnya, pada
suatu malam di tahun 1986, saya bulatkan tekad kembali kepada Islam. Saya
mencapai kesadaran bahwa saya sudah melenceng. Malam itu juga saya sholat
tahajud 50 rakaat dan satu rakaat witir, sampai menjelang waktu sholat subuh.
Setiap selesai dua rakaat saya tandai dengan satu biji korek. Paginya saya
menemui seorang kiai, mengikrarkan dua kalimah syahadat. Sejak itulah, saya
buka lembaran baru.
Ketika saya
kembali kepada Islam, ada keharuan yang amat-sangat. Bayangkan, bapak saya
orang Madura. Tak ada orang Madura yang beragama Kristen. Maka seperti saat
saya meninggalkan Islam, kembalinya saya kepada Islam juga ditangisi
saudara-saudara saya. Tangis haru dan penuh rasa syukur.Alhamdulillah, sejak
itu saya merasakan ketenangan hidup. Meskipun ada sedikit kegelisahan yang
tersisa, itu karena saya tak bisa menyadarkan istri dan empat orang anak saya
untuk masuk Islam. Sampai akhirnya saya memutuskan berpisah dengan mereka.
0 komentar:
Posting Komentar